Selasa, 04 April 2017

Konten Multimedia Perpustakaan Digital


   Kriteria dari sebuah perpustakaan digital adalah penyedian konten digital yang salah satunya adalah konten multimedia. Konten multimedia tersebut meliputi e-text, e-book, e-journal, audio, video, gambar dan lain-lain yang pada intinya informasi tersebut dikemas dalam bentuk elektronik digital. Dengan adanya informasi yang berbentuk elektronik digital tersebut maka memudahkan pemustaka dalam mendapatkan informasi karena proses akses perpustakaan digital dilakukan oleh pemustaka tanpa ada batasan oleh ruang dan waktu selama dapat mengakses jaringan internet.

   Konten Multimedia di Perpustakaan Digital merupakan bahan-bahan koleksi yang ada di dalam suatu Perpustakaan Digital yang secara garis besar terdiri dari dua macam yaitu digital material dan bahan yang di digitalisasi. Menurut A. Kosasih (2008), penyajian koleksi perpustakaan dalam bentuk digital terdapat dalam berbagai format antara lain:
  • Jenis Teks Digital yang meliputi RFT (Rich Text Format) merupakan merupakan sebuah format yang memungkinkan untuk saling bertukar berkas antar word-processor yang memakai operating system (OS) berlainan dan PDF (Portable Document Format) merupakan format yang merekam semua elemen dokumen tercetak ke dalam sebuah citra elektronik (elektronik image) yang kemudian dapat dilihat, ditelusuri, dicetak atau dikirim ke orang lain.
  • TIFF yang meliputi JPEG dan GIF, Photo CD, PNG, Pyramid File Format, dan Format lainnya seperti: PICT, BMP, PDF dan DjVU.
  • Jenis Video / Film Digital yang meliputi MPEG dan Digital Video Broadcasting.
   Menurut AACR2, sumber elektronik adalah bahan atau data atau program yang diciptakan dengan menggunakan kode atau program komputer agar dapat dimanfaatkan dengan piranti komputer. Dalam bahasa multimedia, koleksi yang berbentuk elektronik sering juga disebut sebagai konten multimedia. Konten tersebut meliputi:
  • CD-ROM (Compact Disk Read Only Memori) yang artinya bahwa CD-ROM drive hanya bisa digunakan untuk membaca sebuah CD saja.
  • E-BOOK merupakan versi elektronik dari buku cetak yang dapat dibaca pada komputer. Adapun bentuknya bisa berbentuk file pdf, word, html, txt dll.
  • E-Journal merupakan sebuah artikel atau jurnal yang lengkap tersedia secara elektronik penuh melalui situs website di Internet.
  • SGML (Standard Generalized Mark-up Language) adalah kumpulan dari kode-kode yang memberikan salah satu dalam bagian komponen -komponen (judul, formula, paragraf diagram dan lain-lain).
  • Perpustakaan Video Digital merupakan video yang menggabungkan bunyi dan gambar dan tipe lainnya dari dokumen yang komplek. Media video dapat mengambil secara terpisah dan mengartikan secara terpisah penggunaan alat-alat yang berbeda untuk komponen yang berbeda lalu dirakit kembali.
  • Dokumen Digital merupakan keinginan dalam merubah bentuk dokumen ke dalam bentuk yang lebih interaktif merupakan suatu perubahan yang memungkinkan user menikmati sajian informasi dalam bentuk yang berbeda dari sekarang. Dokumen yang ada dalam bentuk di gital memperoleh hak kekayaan lainnya yaitu format digital. Pemilihan format digital untuk sebuah dokumen memiliki potensial tantangan yang positif maupun negatif secara fungsi dan kegunaan.
  • OCR (Optical Character Recognition) adalah metode pemasukan data pada komputer yang digunakan adalah teknologi scan dan analisa gambar yang difungsikan sebagai alternatif penyimpanan untuk kunci utama, teks dalam bentuk digital.
Referensi:

F. Priyanto, I. (2017). Perpustakaan Digital. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 6, Yogyakarta.

https://id.wikipedia.org/wiki/Perpustakaan_digital

Selasa, 28 Maret 2017

Usability Perpustakaan Digital


   Dalam sebuah sistem informasi dibutuhkan pengukuran kegunaan / usability untuk mengukur apakah sistem informasi tersebut sudah berfungsi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pengguna. Perpustakaan Digital dapat dikategorikan sebagai sebuah sistem informasi yang biasanya berbasis website untuk itu maka perlu dilakukan pengukuran usability untuk melihat seberapa jauh kegunaan & fungsi perpustakaan digital yang sudah dirasakan oleh pengguna. Pengukuran usability sebuah sistem informasi berbasis user oriented yang berarti bahwa pengguna dalam ini pengguna perpustakaan digital harus bisa menilai bagaimana pengalaman ketika menggunakan & mengakses perpustakaan digital. Baik buruknya usability suatu sistem informasi dapat dinilai & diukur berdasarkan banyak faktor.

   Kajian tentang usability (kegunaan) merupakan bagian dari bidang ilmu multi disiplin Human Computer Interaction (HCI). Human Computer Interaction merupakan bidang ilmu yang berkembang sejak tahun 1970 yang mempelajari bagaimana mendesain tampilan layar komputer dalam suatu aplikasi sistem informasi agar nyaman dipergunakan oleh pengguna. Usability berasal dari kata Usable yang secara umum berarti dapat digunakan dengan baik. Sesuatu dapat dikatakan berguna dengan baik apalagi kegagalan dalam penggunaanya dapat dihilangkan atau diminimalkan serta memberi manfaat dan kepuasan kepada pengguna (Rubin dan Chisnell, 2008) dalam Joana (2010).

    Menurut Joseph Dumas dan Janice Redish (1999) usability mengacu kepada bagaimana pengguna bisa mempelajari dan menggunakan produk untuk memperoleh tujuannya dan seberapa puaskah mereka terhadap penggunannya. Definisi usability menurut ISO 9241:11 (1998) adalah sejauh mana suatu produk dapat digunakan oleh pengguna tertentu untuk mencapai target yang ditetapkan dengan efektivitas, efesiensi dan mencapai kepuasan penggunaan dalam konteks tertentu. Konteks penggunaan terdiri dari pengguna, tugas, peralatan (hardware, software dan material).

   Menurut Jacob Nielsen, usability adalah atribut kualitas yang menjelaskan atau mengukur seberapa mudah penggunaan suatu antar muka (interface). Kata “usability” juga merujuk pada suatu metode untuk meningkatkan kemudahan pemakaian selama proses desain. Usability diukur dengan lima kriteria, yaitu: learnability, efficiency, memorability, errors, dan satisfaction. Learnability mengukur tingkat kemudahan melakukan tugas-tugas sederhana ketika pertama kali menemui suatu desain. Efficiency mengukur kecepatan mengerjakan tugas tertentu setelah mempelajari desain tersebut. Memorability melihat seberapa cepat pengguna mendapatkan kembali kecakapan dalam menggunakan desain tersebut ketika kembali setelah beberapa waktu. Errors melihat seberapa banyak kesalahan yang dilakukan pengguna, separah apa kesalahan yang dibuat, dan semudah apa mereka mendapatkan penyelesaian. Satisfaction mengukur tingkat kepuasan dalam menggunakan desain.

Berdasarkan definisi tersebut maka usability diukur berdasarkan 5 komponen wajib yaitu:
  • Kemudahan (learnability) didefinisikan seberapa cepat pengguna mahir dalam menggunakan sistem serta kemudahan dalam penggunaan menjalankan suatu fungsi serta apa yang pengguna inginkan dapat meraka dapatkan.
  • Efisiensi (efficiency) didefenisikan sebagai sumber daya yang dikeluarkan guna mencapai ketepatan dan kelengkapan tujuan.
  • Mudah diingat (memorability) didefinisikan bagaimana kemapuan pengguna mempertahankan pengetahuannya setelah jangka waktu tertentu, kemampuan mengngat didapatkan dari peletakkan menu yang selalu tetap.
  • Kesalahan dan keamanan (errors) didefinisikan berapa banyak kesalahan-kesalahan apa saja yang dibuat pengguna, kesalahan yang dibuat pengguna mencangkup ketidaksesuaian apa yang pengguna pikirkan dengan apa yang sebenarnya disajikan oleh sistem.
  • Kepuasan (satisfaction) didefinisikan kebebasan dari ketidaknyamanan, dan sikap positif terhadap penggunaan produk atau ukuran subjektif sebagaimana pengguna merasa tentang penggunaan sistem.

Referensi:

  • F. Priyanto, I. (2017). Faktor-faktor Interface dan Evaluasi. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 5, Yogyakarta.
  • Nielsen, Jakob. Designing Web Usability: The Practice of Simplicity. Indianapolis, IN: New Riders Publishing. 2000
  • Cindy P.C. Munaiseche. Pengujian Web Aplikasi DSS Berdasarkan Pada Aspek Usability. Jurnal Orbith. VOl. 8, No. 2. Juli 2012: 63 – 68.

Selasa, 21 Maret 2017

UU Hak Cipta Dalam Koleksi Digital

 

   Perpustakaan digital adalah penggunaan teknologi digital untuk memperoleh, menyimpan, melestarikan, dan menyediakan akses terhadap informasi dan materi-materi yang diterbitkan dalam bentuk digital atau didigitalisasikan dari bentuk tercetak, audio visual, dan bentuk-bentuk lainnya. Pembangunan perpustakaan digital mengakibatkan adanya perubahan sistem layanan informasi, awalnya menggunakan sistem layanan konvensional (manual) hingga berubah ke sistem layanan digital yang dibantu dengan perangkat program komputer, yaitu hardware, software, brainware, dan jaringan komputer yang memadai untuk membangun perpustakaan digital.

Pembangunan perpustakaan digital idealnya memperhatikan tiga aspek yaitu: 
  1. Aspek organisasional. Aspek ini mencakup permasalahan tata kehidupan perguruan tinggi sebagai masyarakat pengguna jasa perpustakaan, persoalan pengaturan sumber daya informasi, dan pengelolaan sumber daya manusia dalam konteks manajemen perpustakaan secara keseluruhan. 
  2. Aspek mekanisasi, otomatisasi, dan komunikasi informasi. Pada aspek ini pustakawan diajak untuk mengenali ciri-ciri dasar dari masing-masing teknologi dan bagaimana memanfaatkan ciri-ciri tersebut bagi pengelolaan organisasi perpustakaan yang baru. 
  3. Aspek legalitas, aspek legal dan etis dari penggunaan teknologi baru di masyarakat. Sebagai sebuah masyarakat modern, perpustakaan memerlukan pengaturan tentang hak dan kewajiban dalam cara menyajikan, menyimpan, menyebarkan dan menggunakan informasi dalam kegiatan pendidikan tinggi.
Pada tahap perkembangan dan kemajuan suatu lembaga informasi termasuk juga perpustakaan dalam membangun infrastruktur jaringan elektronik atau digital dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
  • Eksternalitas pada tingkat sosial, seperti penerapan hukum pada kekayaan intelektual (copyright), investasi dalam infrastruktur komunikasi nasional.
  • Keterbatasan lembaga dan organisasi lokal, seperti ketersediaan sumber daya, kebutuhan pengguna, kepemimpinan seseorang dalam mengatur organisasi.
  • Terobosan teknologi informasi merubah kebiasaan sosial dan kerja dalam skala besar.
   Melalui penyediaan sumber-sumber informasi digital, perpustakaan dapat mengembangkan program yang memungkinkan para penggunanya untuk mengakses basis data perpustakaan. Mengingat pentingnya sumber-sumber informasi digital ini sejumlah perpustakaan perguruan tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini bekerja keras untuk meningkatkan kapasitas informasi elektronik atau digital mereka, apakah itu berupa jurnal elektronik, thesis/disertasi eletronik, atau buku-buku elektronik, lainnya, baik yang disajikan secara utuh (full text) maupun sebagian (misal abstrak-nya saja).

Dalam UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002,  istilah koleksi disebut dengan ciptaan. Ditegaskan bahwa pemakaian istilah koleksi atau ciptaan dianggap sama maknanya yaitu setiap hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (Pasal 1 ayat 3). Sedangkan, koleksi digital diartikan sebagai karya cipta hasil pengalihwujudan yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Pernyataan ini diatur dalam Pasal 12 ayat 1 point (l) UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002 bahwa:

“Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup: karya terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampe, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan”.

Dalam mengelola sumber-sumber koleksi digitalnya, khusunya karya hasil penelitian dan jurnal, hendaknya perpustakaan lebih memperhatikan empat prinsip tentang aturan digitalisasi seperti halnya yaitu privasi (kerahasiaan), akurasi (keaslian), properti (kepemilikan), dan keteraksesan informasi. Sebagai contoh dalam implementasi, perpustakaan harus memperhatikan:

  • Privasi, menyangkut kerahasiaan berarti masalah keamanan database koleksi digital, maka pada sistem jaringan perpustakaan digitalnya ditanami sistem keamanan (mosesax). Pihak perpustakaan juga memberikan batasan-batasan terhadap koleksi local content yang akan diakses, misalnya pengguna tidak dapat men-download file-nya. Tujuannya agar tidak terjadi penjiplakan atau pembajakan ciptaan digital secara besarbesaran.
  • Properti, mengenai kewajiban serah karya cetak dan rekam yang sudah diserahkan ke perpustakaan adalah milik sepenuhnya perpustakaan, karena sudah ada kesepakatan atau lisensi di atas surat pernyataan terlebih dahulu.
  • Akurasi atau keaslian. Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat 1 UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002 bahwa: “informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah”. Berdasarkan pasal tersebut, maka perpustakaan dalam mendigitalkan koleksi tetap mencantumkan identitas penulis aslinya, dan tugas perpustakaan hanya mempublikasikan informasi.
  • Hak Akses, semua koleksi local content dapat diakses secara bebas dan dapat dibaca secara keseluruhan (full text). Akan tetapi, pengguna tidak dapat men-download file digital tersebut Mengenai aspek keaslian dari identitas si penulis karya digital.
    Asumsinya bahwa setiap ide,gagasan, maupun pikiran yang sudah tertuang dalam bentuk karya intelektual/koleksi adalah dilindungi hak cipta, baik itu berbentuk koleksi cetak (printed) maupun elektronik (digital). Sehingga agar aman dalam pelanggran hak cipta, perpustakaan harus menyiapkan beberapa perangkat atau peraturan tertulis yang isinya memuat kesepakatan dan lisensi diantara kedua belah pihak. Dengan pernyataan bahwa setiap koleksi/informasi yang sudah diterima perpustakaan itu adalah hak prerogrratif perpustakaan untuk mengalihmediakan koleksinya ke bentuk apapun tanpa adanya komplain/protes dari si penulis karya. Pernyataan tertulis itu bisa dijadikan peraturan maupun kebijakan perpustakaan untuk melindungi setiap koleksi yang dikelolanya. Beberapa kebijakan yang diberikan perpustakaan dalam mengelola sumber daya digital antara lain peraturan deposit, trade-secrecy, copy left, dan doktin fair use.


Referensi:

  • Basuki, Sulistiyo. 2008. Standardisasi Proses Digitalisasi Sumber-Sumber Informasi dan Peran Baru Para Profesional Informasi Dalam Era Perpustakaan Digital. Makalah untuk Pelatihan Digitalisasi Koleksi Perpustakaan: Akselerasi Perpustakaan
  • Evans, G. Edward. 2000. Developing Library and Information Center Collection: Fourth Edition. Colorado: Libraries Unlimited a Division of Greenwood Publishing Group. Inc.
  • Putu, Laxman. 2007. Perpustakaan Digital: Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: CV. Sagung Seto.
  • Giri P, EM. 2008. Undang-Undang HAKI: Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Visimedia.
  • F. Priyanto, I. (2017). Digitasi & Born-digital. Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 4, Yogyakarta.

Sabtu, 18 Maret 2017

Model Perpustakaan Digital

Berikut ini adalah beberapa model perpustakaan digital yang tengah berkembang hingga saat ini:

Model Rolands dan Bawden

   Berdasarkan model Rolands dan Bawden, model perpustakaan digital merupakan sebuah continuum (rentang berkelanjutan) dari perpustakaan biasa atau konvensional. Model Rolands dan Bawden ini menggambarkan perkembangan perpustakaan konvensional ke perpustakaan digital melalui beberapa tahapan, yaitu :
  • Perpustakaan konvensional, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
  • Perpustakaan elektronik, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, koleksi tercetak dan elektronik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
  • Perpustakaan hibrida, yang di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik dan internet, koleksi tercetak dan elektronik serta digital, ruangan baca, meja referensi dan referensi maya, ruangan maya (virtual). Perpustakaan hibrida ini merupakan peralihan antara perpustakaan konvensional atau tradisional ke perpustakaan digital.
  • Perpustakaan digital, di dalamnya terdiri dari dengan atau tanpa lokasi fisik, koleksi digital, ruang dan referensi maya.
  • Perpustakaan maya, di dalamnya terdiri dari tanpa lokasi fisik, koleksi seluruhnya digital, ruang dan referensi maya.
   Dengan pembagian tersebut, apabila kita merujuk pada konsep perpustakaan digital, maka konsep perpustakaan hibrida dari Rolands dan Bawden cocok dengan konsep perpustakaan digital, namun jika melihat kategori keempat (perpustakaan digital) maka Rowands dan Bawden menganut konsep perpustakaan digital menurut Arms. Walaupun Rolands dan Bawden menggambarkan model perpustakaan seperti di atas, namun sebenarnya keduanya tidak mau terjebak pada perdebatan tentang bentuk atau lokasi. Keduanya  lebih berkonsentrasi pada proses, yaitu rencana, implementasi dan evaluasi. 

  Ada dua hal penting dalam model Rolands dan Bawden yang disebutnya sebagai conceptual framework, yaitu dunia pemikiran (ide) dan dunia praktik. Di antara dua dunia ini dihubungkan oleh teknologi. Dunia ide memunculkan ranah system (menyangkut interaksi manusia-komputer, perangkat lunak dan sistem arsitektur), ranah informasional (menyangkut organisasi pengetahuan, simpan-temu-kembali pengetahuan, dan implikasi bagi proses transfer informasi) serta ranah social (menyangkut keterampilan dan keberaksaraan informasi, dampak pada organisasi dan kegiatannya, kebijakan, peraturan dan perundangan tentang informasi). Maksudnya adalah, keseluruhan kegiatan perpustakaan sebenarnya merupakan upaya menerapkan teknologi, khususnya teknologi informasi, di berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, buku juga sebuah teknologi informasi, tetapi menggunakan mesin cetak (kecuali jika namanya buku elektronik). Sehingga seandainya sekarang kita bicara tentang perpustakaan digital, maka persoalan yang kita hadapi tetap serupa dengan saat pada pendahulu kita bicara tentang perpustakaan berkoleksi daun lontar, perpustakaan kertas, atau perpustakaan video, yaitu bahwa perpustakaan adalah sebuah upaya menghimpun dan menerapkan ide manusia ke dalam praktik dengan menggunakan teknologi informasi.

   Kesimpulannya adalah ketiga ranah tersebut terjadi pada semua perpustakaan karena memang hampir sulit menemukan perpustakaan yang tidak menggunakan perangkat komputer. Rolands dan Bawden memang tidak membedakan secara jelas antara perpustakaan hibrida dengan perpustakaan digital. Berdasarkan uraian di atas maka berikut ini merupakan alasan dari Rolands dan Bawden mengapa mereka tidak ingin meninggalkan konsep kepustakawanan konvensional yang juga berperan dalam membangun konsep perpustakaan digital :
  • Antara dunia praktik dengan dunia pikiran tidak bisa dipisahkan, dan di antara kedua dunia ini ada teknologi yang menyertainya, sementara yang dimaksud perpustakaan hibrida menurut Rowlands dan Bawden adalah masih dipertahankannya gedung, lokasi fisik dan internet, koleksi tercetak dan elektronik dan digital, ruangan baca, meja referensi dan referensi maya serta ruang maya (virtual).
  • Ternyata Rowlands dan Bawden masih mempertahankan konsep kepustakawanan (tentang fungsi perpustakaan) yang menyangkut tiga pilar utama, yaitu ranah social, ranah informasional dan ranah system.
  • Teknologi menurut keduanya lebih dijadikan komponen pendukung dunia praktek, walaupun saat ini teknologi tidak bisa ditinggalkan perpustakaan.

Model DELOS

Model DELOS menggambarkan perpustakaan digital sebagai  kerangka dengan tiga pilar, yaitu:
  1. Digital library system(DLS) sebagai sebuah system perangkat lunak. Untuk membangun perpustakaan digital diperlukan sebuah perangkat lunak yang fungsional yang disebut dengan aplikasi.
  2. Digital library management system (DLMS). Untuk membuat sebuah aplikasi seperti DLS di atas, diperlukan sistem perangkat lunak induk yang dalam model DELOS ini disebut sebagai Digital Library Management System atau sistem manajemen perpustakaan digital. DLMS tergolong sebagai perangkat lunak system. Saat ini perangkat lunak yang ditawarkan baik secara gratis maupun semigratis antara lain DSpace, Greenstone, Fedora, Koha, dan sebagainya.
  3. Digital library(DL) sebagai sebuah organisasi, menurut DELOS organisasi ini dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak. Yang dimaksud organisasi yang virtual adalah organisasi yang tidak punya kontak fisik dengan masyarakat penggunanya dalam  bentuk jasa wawan-muka (interface) sehingga pengguna tidak bisa meraba atau melakukan kontak fisik dengan perpustakaan (remote libraries). Hal-hal penting yang berkaitan dengan model perpustakaan digital DELOS adalah:

    • DELOS lebih menekankan organisasi secara substansial yaitu sebagai sebuah sistem manajerial.
    • Model DELOS lebih menekankan koleksi digital dengan tujuan untuk membedakan perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital (tidak memasukkan koleksi yang tercetak.
    • Model DELOS lebih mengarahkan tujuan pembangunan digital yaitu untuk preservasi koleksi sehingga koleksi ini nantinya selalu fungsional.
    • Sekiranya masih ada koleksi yang non digital maka koleksi tersebut harus dikelola dengan berbantuan komputer untuk memastikan agar semua koleksi dapat berfungsi dengan baik untuk melayani keperluan masyarakat. Jadi model DELOS memandang penting konsep ketersediaan koleksi.

Model OAIS (Open Archival Information system)

   Model ini merupakan model pengarsipan (archival) dan menekankan pada fungsi pelestarian atau preservasi. Namun pengarsipan dan pelestarian di sini bukanlah hanya menyimpan, mengawetkan, atau mempertahankan bentuk, melainkan memastikan agar informasi selalu tersedia untuk dimanfaatkan selama mungkin. Model OAIS sesungguhnya hendak menegaskan bahwa fungsi sebuah perpustakaan digital adalah memastikan semua koleksi digital berada dalam status selalu tersedia.

   Menurut model OAIS inti dari perpustakaan digital terletak pada kemampuan teknologi dalam menjamin ketersediaan dan kebergunaan semua koleksi dalam rentang waktu yang lama, bahkan kalau perlu selama-lamanya selama listrik masih ada. Menurut model OAIS, sebagai sebuah organisasi, perpustakaan digital memiliki tiga bagian atau unsure yang saling berkaitan yaitu:
  • lingkungan luar atau eksternal tempat sebuah OAIS berkegiatan. Di lingkungan ini terdapat komponen produsen, konsumen, dan manajemen.
  • Lingkungan dalam atau internal yang berisi perangkat, komponen-komponen fungsional, dan mekanisme keja OAIS untuk menyelenggarakan kegiatan pelestarian.
  • Paket informasi dan objek yang dicerna (ingested), dikelola (managed), dan disebarkan (disseminated).
   Berdasarkan uraian tentang model perpustakaan digital di atas maka Apapun modelnya, dari ketiga model yang telah disebutkan sebenarnya sama, yaitu bahwa perpustakaan digital dibangun dalam rangka menciptakan, menghimpun, mengolah dan menyajikan dan melestarikan rekaman-rekaman informasi berbantuan teknologi  serta jaringan informasi dengan tujuan untuk kemudahan akses dan pendayagunaan bersama sumber informasi.


Referensi:

  • Arms, W.Y. (2001).  Digital Libraries, Cambridge, Massachusetts.
  • Putu Laxman. (2008).  Perpustakaan Digital dari A – Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
  • Putu Laxman. (2009). Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
  • Witten, Ian H., Bainbridge, David and  Nichols, David M. (2010). How to Build a Digital Library, 2nd ed., Amsterdam: Elsevier.


Jumat, 24 Februari 2017

Metadata Encoding and Transmission Standard (METS)

   

   Definisi metadata secara sederhana dapat diartikan sebagai data tentang data (data about data). Namun definisi tersebut masih belum lengkap karena metadata tidak sesederhana itu. Salah satu ciri dari metadata adalah data tersebut harus terstruktur. Jadi definisi yang tepat untuk menggambarkan metadata adalah data terstruktur tentang data (structured data about data). Definisi tersebut masih sederhana dan belum sepenuhnya menjelaskan lebih detail tentang metadata. Task Force on Metadata CC:DA (committee on cataloguing: description and access) dari ALA (American library association) menjelaskan secara lebih detail tentang metadata yaitu data yang terstruktur, ditandai dengan kode agar dapat diproses oleh komputer, mendeskripsikan ciri-ciri satuan-satuan pembawa informasi, dan membantu identifikasi, penemuan, penilaian dan pengelolaan satuan pembawa informasi tersebut.

Metadata terbagi dalam 3 jenis:

1. Metadata deskriptif

Data yang dapat mengidentifikasi sumber informasi sehingga dapat digunakan untuk memperlancar proses penemuan dan seleksi. Cakupan yang ada pada data ini adalah pengarang, judul, tahun terbit, tajuk subjek atau kata kunci dan informasi lain yang proses pengisian datanya sama dengan katalog tradisional.

2. Metadata administratif

Data yang tidak hanya dapat mengidentifikasi sumber informasi tapi juga cara pengelolaanya. Cakupan dari data ini adalah sama dengan data deskriptif hanya saja ditambah dengan pembuat data, waktu pembuatan, tipe file, data teknis lain. Selain itu data ini juga mengandung informasi tentang hak akses, hak kekayaan intelektual, penyimpanan dan pelestarian sumber informasi.

3. Metadata Struktural

Data yang dapat membuat antara data yang berkaitan dapat saling berhubungan satu sama lain. Secara lebih jelas, Metadata ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara berkas fisik dan halaman, halaman dan bab dan bab dengan buku sebagai produk akhir.

   Salah satu contoh metadata adalah METS (Metadata Encoding and Transmission Standard) yang merupakan standar metadata untuk encoding deskriptif, administrasi, dan struktur metadata mengenai objek dalam perpustakaan digital, dinyatakan dengan menggunakan XML (Extensible Markup Language) yang merupakan bagian dari bahasa pemrograman web dari World Wide Web Consortium (W3C). Standar digunakan & dipertahankan sebagai bagian dari standar MARC dari Library of Congress & sedang dikembangkan oleh Federasi Perpustakaan Digital (DLF).

METS menggunakan skema bahasa XML yang dirancang untuk tujuan:
  • Membuat contoh dokumen XML yang mengungkapkan struktur hirarkis dari objek perpustakaan digital.
  • Merekam nama dan lokasi dari file yang membentuk objek-objek.
  • Merekam terkait metadata karena itu bisa digunakan sebagai alat untuk pemodelan objek dunia nyata, seperti jenis dokumen tertentu.

Tergantung pada penggunaannya, dokumen METS dapat digunakan dalam peran Submission Information Package (SIP), Archival Information Package (AIP) atau Dissemination Information Package (DIP) dalam Open Archival Information System (OAIS).

Beberapa kelebihan yang dimiliki METS antara lain:
  • Standar terbuka (non-proprietary) yaitu bisa dipakai & dikembangkan oleh siapapun.
  • Dikembangkan oleh komunitas perpustakaan
  • relatif sederhana sehingga mudah digunakan
  • extensible
  • modular
File digital yang menggunakan METS sebagai standar metadata mempunyai 7 bagian struktur yaitu:


  • METS header metsHdr: informasi dokumen METS sendiri, seperti pencipta, editor, dll
  • Descriptive Metadata dmdSec: berisi internal embedded metadata atau titik untuk metadata eksternal ke dokumen METS. Beberapa contoh metadata deskriptif baik internal dan eksternal dapat dimasukkan.
  • Administrative Metadata amdSec: Menyediakan informasi mengenai bagaimana file yang dibuat dan disimpan, hak kekayaan intelektual, metadata mengenai objek sumber asli dari mana objek perpustakaan digital berasal, dan informasi mengenai asal dari file yang terdiri dari objek perpustakaan digital (seperti master / derivatif hubungan, migrasi, dan transformasi). Seperti metadata deskriptif, metadata administratif dapat dikodekan secara internal atau eksternal untuk dokumen METS.
  • File Section fileSec: Daftar semua file yang berisi konten yang terdiri dari versi elektronik dari objek digital. elemen file dapat dikelompokkan dalam elemen fileGrp untuk membagi file dengan versi objek. Meskipun bagian ini tidak diperlukan, biasanya termasuk dalam komponen dokumen METS karena dapat menambah tingkat fungsionalitas untuk struktur dokumen.
  • Structural Map structMap: Garis struktur hirarkis untuk objek perpustakaan digital, dan menghubungkan elemen struktur ke file konten yang terkait dan metadata. Bagian ini adalah satu-satunya bagian yang diperlukan untuk semua dokumen METS.
  • Structural Links structLink: Memungkinkan pembuat METS untuk merekam adanya hyperlink antara node dalam Peta struktural. Bagian ini merupakan nilai khusus dalam menggunakan METS untuk kepentingan arsip Website.
  • Behavioral behaviorSec: Digunakan untuk mengasosiasikan perilaku executable dengan konten dalam objek METS. Setiap perilaku memiliki elemen mekanisme untuk mengidentifikasi modul kode executable yang mengimplementasikan perilaku yang didefinisikan secara abstrak dengan definisi antarmuka/interface.

Kegunaan METS pada file digital yang biasa kita temukan dalam keseharian antara lain:
  • Musical Score (may be a score, score and parts, or a set of parts only)
  • Print Material (books, pamphlets, etc.)
  • Music Manuscript (score or sketches)
  • Recorded Event (audio or video)
  • PDF Document
  • Bibliographic Record
  • Photograph
  • Compact Disc
  • Collection

Referensi:

F. Priyanto, I. (2017). Metadata Perpustakaan Digital. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 2, Yogyakarta.

https://en.wikipedia.org/wiki/Metadata_Encoding_and_Transmission_Standard

http://www.loc.gov/standards/mets/

Wagner, Lindsey. (2011). METS: A Survey of Recent Literature and Applications, http://unllib.unl.edu/LPP/

Pendit, Putu Laxman (Ed.). 2007. Perpustakaan Digital: Sebuah Impian dan Kerja Bersama. Jakarta: CV. Sagung Seto.



Minggu, 19 Februari 2017

Infrastruktur Perpustakaan Digital

   


   Perbedaan perpustakaan biasa dengan perpustakaan digital terlihat pada keberadaan koleksi. Koleksi digital tidak harus berada di sebuah tempat fisik, sedangkan koleksi biasa terletak pada sebuah tempat yang menetap, yaitu perpustakaan. Perbedaan kedua terlihat dari konsepnya. Konsep perpustakaan digital identik dengan internet atau komputer, sedangkan konsep perpustakaan biasa adalah buku-buku yang terletak pada suatu tempat. Perbedaan ketiga, perpustakaan digital bisa dinikmati pengguna dimana saja dan kapan saja, sedangkan pada perpustakaan biasa pengguna menikmati di perpustakaan dengan jam-jam yang telah diatur oleh kebijakan organisasi perpustakaan. Konsep dari perpustakaan digital adalah men-digitalkan seluruh koleksi bacaan dari yang berbentuk fisik menjadi data digital sehingga dapat diakses oleh siapapun & dimana pun. Untuk itu maka diperlukan infrastruktur pendukung demi terwujudnya fasilitas perpustakaan digital yaitu dengan menggunakan teknologi website client-server melalui jaringan internet.

   Kebutuhan infrastruktur perpustakaan digital terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), koneksi jaringan internet agar bisa dijangkau secara global & sumber daya manusia dalam pengelolaannya. 

Perangkat keras yang digunakan adalah komputer yang berfungsi sebagai server yang memiliki fungsi antara lain sebagai berikut:

  1. Web server, yaitu server yang akan melayani permintaan-permintaan layanan web page dari para pengguna internet; 
  2. Database server, yaitu jantung sebuah perpustakaan digital karena di sinilah keseluruhan koleksi disimpan; 
  3. FTP server, yaitu untuk melakukan kirim/terima berkas melalui jaringan komputer; 
  4. Mail server, yaitu server yang melayani segala sesuatu yang berhubungan dengan surat elektronik (e-mail); 
  5. Printer server, yaitu untuk menerima permintaan-permintaan pencetakan, mengatur antriannya, dan memprosesnya; 
  6. Proxy server / Firewall, yaitu untuk pengaturan keamanan penggunaan internet dari pemakai yang tidak berhak dan juga dapat digunakan untuk membatasi ke situs-situs yang tidak diperkenankan.
Perangkat lunak adalah aplikasi & sistem operasi yang digunakan untuk mengatur perangkat keras agar bisa berjalan sesuai fungsinya. Perangkat lunak yang dipakai bisa berlisensi berbayar ataupun dengan lisensi open source (gratis) hal ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan & kemampuan finansial dalam pembangunan perpustakaan digital. Misalkan jika ingin menggunakan sistem operasi berbayar bisa menggunakan Microsoft Windows Server & jika ingin gratis bisa menggunakan berbagai macam varian distro Linux. Aplikasi pendukung lain sama hal nya dengan sistem operasi dapat menggunakan lisensi berbayar maupun gratis, misalnya dalam pembangunan database bisa menggunakan Oracle untuk yang berbayar & MySQL jika ingin gratis.



   Sumber daya manusia yang kompeten juga tak kalah penting dalam pembangunan sistem informasi perpustakaan digital, SDM yang dibutuhkan yaitu antara lain:
  1. Database Administrator, yaitu penanggung jawab kelancaran basis data, 
  2. Network Administrator, yaitu penanggung jawab kelancaran operasional jaringan komputer, 
  3. System Administrator, yaitu penanggung jawab siapa saja yang berhak mengakses sistem, 
  4. Web Master, yaitu penjaga agar website beserta seluruh halaman yang ada di dalamnya tetap beroperasi sehingga bisa diakses oleh pengguna, dan 
  5. Web Designer, yaitu penanggung jawab rancangan tampilan website sekaligus mengatur isi website.
  6. Pustakawan, yaitu penanggung jawab koleksi bacaan digital dalam hal ini melakukan proses scanning, editing & uploading koleksi-koleksi yang ingin di-digitalkan.


Referensi:

F. Priyanto, I. (2017). Perpustakaan Digital Definisi dan Sejarahnya. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 1, Yogyakarta.

Pendit, Putu Laxman (Ed.). 2007. Perpustakaan Digital: Sebuah Impian dan Kerja Bersama. Jakarta: CV. Sagung Seto. 

Sucahyo, Yudho Giri dan Ruldeviyani, Yova (Ed.). 2007. Infrastruktur Perpustakaan Digital. Jakarta: CV. Sagung Seto. 

Suryandari, Ari (Ed.). 2007. Aspek Manajemen Perpustakaan Digital. Jakarta: CV Sagung Seto.