Jumat, 16 September 2016

Disruptive Innovation: The thrilling potential of SixthSense technology




Era tahun 2000-an hingga sekarang ini adalah masa dimana teknologi telekomunikasi & digital berkembang dengan begitu pesat. Segala macam teknologi baru hadir silih berganti mempengaruhi para konsumennya, para vendor teknologi digital berlomba-lomba menghadirkan berbagai macam teknologi baru. Para vendor tersebut berusaha bersaing membuat inovasi terbaru sehingga menciptakan pasar baru & mengganggu pasar yang sudah ada, tujuan dari hal tersebut adalah tak lain ingin menggantikan teknologi terdahulu dengan teknologi yang lebih baru. Kejadian ini biasa disebut sebagai Disruptive Innovation, istilah ini diperkenalkan oleh Clayton M.Christensen dalam bukunya yang berjudul The Innovator Dillema.

Salah satu contoh dari Disruptive Innovation yang bisa kita lihat saat ini terjadi pada dunia gadget smartphone yang dibuat oleh vendor Nokia & Research In Motion dengan Blackberry nya. Kedua vendor tersebut pernah berjaya dengan produk-produknya akan tetapi terlambat untuk berinovasi sehingga tertinggal oleh perkembangan Apple dengan iPhone nya & juga oleh gempuran smartphone berbasis Android yang open source system.

Pranav Mistry seorang ilmuwan dibidang komputer sekaligus penemu lulusan MIT mengembangkan SixthSense technology yang kelak dapat menjadi sebuah disruptive innovation. SixthSense adalah sebuah teknologi gesture based wearable computer yang memungkinkan para penggunanya untuk dapat berinteraksi dengan benda/object fisik sehari-hari kedalam dunia digital. Dengan SixthSense technology Pranav berusaha untuk menghadirkan informasi digital kedalam dunia nyata karena tujuannya adalah membuat si pengguna mendapatkan informasi secara dinamis. Untuk lebih memperjelas pemahaman akan teknologi tersebut diharapkan untuk menonton video berikut ini:




Pranav juga berpendapat bahwa sebentar lagi dunia digital akan menyatu dengan dunia fisik karena teknologi yang dia ciptakan memiliki potensi tanpa batas. Jika teknologi ini berhasil dikembangkan secara masal apakah masih relevan menggunakan smartphone konvensional seperti yang masih kita pakai sekarang ini? dimana SixthSense technology dapat memproyeksikan tampilan antar muka disembarang objek tanpa perlu menggunakan layar elektronik. Apakah ini merupakan awal dari disruptive innovation bagi vendor gadget konvensional?






Referensi:

https://en.wikipedia.org/wiki/Disruptive_innovation  

https://en.wikipedia.org/wiki/Clayton_M._Christensen
https://en.wikipedia.org/wiki/Pranav_Mistry
https://en.wikipedia.org/wiki/SixthSense
https://www.ted.com/speakers/pranav_mistry  

https://www.ted.com/talks/pranav_mistry_the_thrilling_potential_of_sixthsense_technology

Kamis, 08 September 2016

Era Informasi Membangun Network Society




   Saat ini adalah era situs jejaring sosial. Media sosial adalah sebuah media online dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi secara virtual tanpa bertemu secara fisik. Social media yang banyak digunakan masyarakat Indonesia meliputi Blog, Facebook, Twitter & forum-forum online misalkan kaskus. Bahkan penggunaan aplikasi chatting (WA, BBM, Line) pada smartphone juga sangat populer dalam kurun waktu 6 tahun terakhir ini. Media sosial menciptakan network society tersendiri semisal dimana pengguna dapat tergabung dalam berbagai macam grup-grup yang memiliki kesamaan identitas maupun hobi antar sesama penggunanya. Grup-grup media sosial tersebut menjadi wadah bagi para penggunanya untuk sharing informasi & berkomunikasi.

  Kemajuan teknologi informasi mempengaruhi masyarakat dalam bertukar informasi, hal ini berpengaruh terhadap budaya masyarakat semisal dalam berkirim undangan yang dulu masih menggunakan undangan cetak kini mulai bergeser dengan menggunakan undangan yang dikirimkan secara eletronik melalui email maupun melalui broadcast message pada aplikasi chatting. Budaya konsumtif masyarakat pun ikut berubah dengan kemajuan teknologi informasi, tengoklah saat ini banyak sekali e-commerce / toko online yang menawarkan kemudahan dalam berbelanja.

  Komunikasi era packet switching (digital) melalui jaringan internet pita lebar yang berkembang pesat menimbulkan de-teritorial-isasi. Setiap orang dapat saling bertukar informasi & berkomunikasi tanpa dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Era informasi membuat para penggunanya dapat dengan bebas mengutarakan pendapatnya karena sifatnya yang horizontal sehingga mempunyai hak yang setara tanpa memandang status sosial. Pertumbuhan ekonomi juga meningkat sebagai implikasi dari perkembangan teknologi informasi & hal ini bisa dilihat dari banyaknya situs jual-beli online yang mengakibatkan de-material-isasi pada produk-produk yang ditawarkan dengan memajang foto dari produk tersebut, meskipun yang ditawarkan secara online hanya berwujud foto akan tetapi mempunyai nilai ekonomi yang sama dengan barang aslinya.

  Manuel Castells mengatakan bahwa sebuah network society adalah masyarakat yang struktur sosial nya yang terdiri dari berbagai jaringan / networks didukung oleh informasi dan komunikasi berbasis teknologi mikroelektronika. Hal ini sangatlah relevan jika dilihat pada saat sekarang ini dimana peralatan komunikasi elektronik berbasis jaringan internet sangat membentuk network society. Generasi yang lahir pada era 1980-an hingga saat sekarang ini atau yang biasa disebut dengan digital natives adalah generasi network society, pada generasi tersebut penggunaan teknologi informasi sangatlah dominan dalam membantu penyebaran informasi & komunikasi.


Referensi:

Priyanto, Ida Fajar. 2016. Culture, Knowledge and Social Informatics, Materi Kuliah Isu-isu Kontemporer Informasi. Yogyakarta: Program Studi Kajian Budaya dan Media Minat Studi Manajemen Informasi dan Perpustakaan UGM.

Castells, Manuel. 2004. Informationalism, Networks, and The Network Society: A Theoretical Blueprint