Selasa, 28 Maret 2017

Usability Perpustakaan Digital


   Dalam sebuah sistem informasi dibutuhkan pengukuran kegunaan / usability untuk mengukur apakah sistem informasi tersebut sudah berfungsi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pengguna. Perpustakaan Digital dapat dikategorikan sebagai sebuah sistem informasi yang biasanya berbasis website untuk itu maka perlu dilakukan pengukuran usability untuk melihat seberapa jauh kegunaan & fungsi perpustakaan digital yang sudah dirasakan oleh pengguna. Pengukuran usability sebuah sistem informasi berbasis user oriented yang berarti bahwa pengguna dalam ini pengguna perpustakaan digital harus bisa menilai bagaimana pengalaman ketika menggunakan & mengakses perpustakaan digital. Baik buruknya usability suatu sistem informasi dapat dinilai & diukur berdasarkan banyak faktor.

   Kajian tentang usability (kegunaan) merupakan bagian dari bidang ilmu multi disiplin Human Computer Interaction (HCI). Human Computer Interaction merupakan bidang ilmu yang berkembang sejak tahun 1970 yang mempelajari bagaimana mendesain tampilan layar komputer dalam suatu aplikasi sistem informasi agar nyaman dipergunakan oleh pengguna. Usability berasal dari kata Usable yang secara umum berarti dapat digunakan dengan baik. Sesuatu dapat dikatakan berguna dengan baik apalagi kegagalan dalam penggunaanya dapat dihilangkan atau diminimalkan serta memberi manfaat dan kepuasan kepada pengguna (Rubin dan Chisnell, 2008) dalam Joana (2010).

    Menurut Joseph Dumas dan Janice Redish (1999) usability mengacu kepada bagaimana pengguna bisa mempelajari dan menggunakan produk untuk memperoleh tujuannya dan seberapa puaskah mereka terhadap penggunannya. Definisi usability menurut ISO 9241:11 (1998) adalah sejauh mana suatu produk dapat digunakan oleh pengguna tertentu untuk mencapai target yang ditetapkan dengan efektivitas, efesiensi dan mencapai kepuasan penggunaan dalam konteks tertentu. Konteks penggunaan terdiri dari pengguna, tugas, peralatan (hardware, software dan material).

   Menurut Jacob Nielsen, usability adalah atribut kualitas yang menjelaskan atau mengukur seberapa mudah penggunaan suatu antar muka (interface). Kata “usability” juga merujuk pada suatu metode untuk meningkatkan kemudahan pemakaian selama proses desain. Usability diukur dengan lima kriteria, yaitu: learnability, efficiency, memorability, errors, dan satisfaction. Learnability mengukur tingkat kemudahan melakukan tugas-tugas sederhana ketika pertama kali menemui suatu desain. Efficiency mengukur kecepatan mengerjakan tugas tertentu setelah mempelajari desain tersebut. Memorability melihat seberapa cepat pengguna mendapatkan kembali kecakapan dalam menggunakan desain tersebut ketika kembali setelah beberapa waktu. Errors melihat seberapa banyak kesalahan yang dilakukan pengguna, separah apa kesalahan yang dibuat, dan semudah apa mereka mendapatkan penyelesaian. Satisfaction mengukur tingkat kepuasan dalam menggunakan desain.

Berdasarkan definisi tersebut maka usability diukur berdasarkan 5 komponen wajib yaitu:
  • Kemudahan (learnability) didefinisikan seberapa cepat pengguna mahir dalam menggunakan sistem serta kemudahan dalam penggunaan menjalankan suatu fungsi serta apa yang pengguna inginkan dapat meraka dapatkan.
  • Efisiensi (efficiency) didefenisikan sebagai sumber daya yang dikeluarkan guna mencapai ketepatan dan kelengkapan tujuan.
  • Mudah diingat (memorability) didefinisikan bagaimana kemapuan pengguna mempertahankan pengetahuannya setelah jangka waktu tertentu, kemampuan mengngat didapatkan dari peletakkan menu yang selalu tetap.
  • Kesalahan dan keamanan (errors) didefinisikan berapa banyak kesalahan-kesalahan apa saja yang dibuat pengguna, kesalahan yang dibuat pengguna mencangkup ketidaksesuaian apa yang pengguna pikirkan dengan apa yang sebenarnya disajikan oleh sistem.
  • Kepuasan (satisfaction) didefinisikan kebebasan dari ketidaknyamanan, dan sikap positif terhadap penggunaan produk atau ukuran subjektif sebagaimana pengguna merasa tentang penggunaan sistem.

Referensi:

  • F. Priyanto, I. (2017). Faktor-faktor Interface dan Evaluasi. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 5, Yogyakarta.
  • Nielsen, Jakob. Designing Web Usability: The Practice of Simplicity. Indianapolis, IN: New Riders Publishing. 2000
  • Cindy P.C. Munaiseche. Pengujian Web Aplikasi DSS Berdasarkan Pada Aspek Usability. Jurnal Orbith. VOl. 8, No. 2. Juli 2012: 63 – 68.

Selasa, 21 Maret 2017

UU Hak Cipta Dalam Koleksi Digital

 

   Perpustakaan digital adalah penggunaan teknologi digital untuk memperoleh, menyimpan, melestarikan, dan menyediakan akses terhadap informasi dan materi-materi yang diterbitkan dalam bentuk digital atau didigitalisasikan dari bentuk tercetak, audio visual, dan bentuk-bentuk lainnya. Pembangunan perpustakaan digital mengakibatkan adanya perubahan sistem layanan informasi, awalnya menggunakan sistem layanan konvensional (manual) hingga berubah ke sistem layanan digital yang dibantu dengan perangkat program komputer, yaitu hardware, software, brainware, dan jaringan komputer yang memadai untuk membangun perpustakaan digital.

Pembangunan perpustakaan digital idealnya memperhatikan tiga aspek yaitu: 
  1. Aspek organisasional. Aspek ini mencakup permasalahan tata kehidupan perguruan tinggi sebagai masyarakat pengguna jasa perpustakaan, persoalan pengaturan sumber daya informasi, dan pengelolaan sumber daya manusia dalam konteks manajemen perpustakaan secara keseluruhan. 
  2. Aspek mekanisasi, otomatisasi, dan komunikasi informasi. Pada aspek ini pustakawan diajak untuk mengenali ciri-ciri dasar dari masing-masing teknologi dan bagaimana memanfaatkan ciri-ciri tersebut bagi pengelolaan organisasi perpustakaan yang baru. 
  3. Aspek legalitas, aspek legal dan etis dari penggunaan teknologi baru di masyarakat. Sebagai sebuah masyarakat modern, perpustakaan memerlukan pengaturan tentang hak dan kewajiban dalam cara menyajikan, menyimpan, menyebarkan dan menggunakan informasi dalam kegiatan pendidikan tinggi.
Pada tahap perkembangan dan kemajuan suatu lembaga informasi termasuk juga perpustakaan dalam membangun infrastruktur jaringan elektronik atau digital dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
  • Eksternalitas pada tingkat sosial, seperti penerapan hukum pada kekayaan intelektual (copyright), investasi dalam infrastruktur komunikasi nasional.
  • Keterbatasan lembaga dan organisasi lokal, seperti ketersediaan sumber daya, kebutuhan pengguna, kepemimpinan seseorang dalam mengatur organisasi.
  • Terobosan teknologi informasi merubah kebiasaan sosial dan kerja dalam skala besar.
   Melalui penyediaan sumber-sumber informasi digital, perpustakaan dapat mengembangkan program yang memungkinkan para penggunanya untuk mengakses basis data perpustakaan. Mengingat pentingnya sumber-sumber informasi digital ini sejumlah perpustakaan perguruan tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini bekerja keras untuk meningkatkan kapasitas informasi elektronik atau digital mereka, apakah itu berupa jurnal elektronik, thesis/disertasi eletronik, atau buku-buku elektronik, lainnya, baik yang disajikan secara utuh (full text) maupun sebagian (misal abstrak-nya saja).

Dalam UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002,  istilah koleksi disebut dengan ciptaan. Ditegaskan bahwa pemakaian istilah koleksi atau ciptaan dianggap sama maknanya yaitu setiap hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (Pasal 1 ayat 3). Sedangkan, koleksi digital diartikan sebagai karya cipta hasil pengalihwujudan yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Pernyataan ini diatur dalam Pasal 12 ayat 1 point (l) UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002 bahwa:

“Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup: karya terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampe, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan”.

Dalam mengelola sumber-sumber koleksi digitalnya, khusunya karya hasil penelitian dan jurnal, hendaknya perpustakaan lebih memperhatikan empat prinsip tentang aturan digitalisasi seperti halnya yaitu privasi (kerahasiaan), akurasi (keaslian), properti (kepemilikan), dan keteraksesan informasi. Sebagai contoh dalam implementasi, perpustakaan harus memperhatikan:

  • Privasi, menyangkut kerahasiaan berarti masalah keamanan database koleksi digital, maka pada sistem jaringan perpustakaan digitalnya ditanami sistem keamanan (mosesax). Pihak perpustakaan juga memberikan batasan-batasan terhadap koleksi local content yang akan diakses, misalnya pengguna tidak dapat men-download file-nya. Tujuannya agar tidak terjadi penjiplakan atau pembajakan ciptaan digital secara besarbesaran.
  • Properti, mengenai kewajiban serah karya cetak dan rekam yang sudah diserahkan ke perpustakaan adalah milik sepenuhnya perpustakaan, karena sudah ada kesepakatan atau lisensi di atas surat pernyataan terlebih dahulu.
  • Akurasi atau keaslian. Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat 1 UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002 bahwa: “informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah”. Berdasarkan pasal tersebut, maka perpustakaan dalam mendigitalkan koleksi tetap mencantumkan identitas penulis aslinya, dan tugas perpustakaan hanya mempublikasikan informasi.
  • Hak Akses, semua koleksi local content dapat diakses secara bebas dan dapat dibaca secara keseluruhan (full text). Akan tetapi, pengguna tidak dapat men-download file digital tersebut Mengenai aspek keaslian dari identitas si penulis karya digital.
    Asumsinya bahwa setiap ide,gagasan, maupun pikiran yang sudah tertuang dalam bentuk karya intelektual/koleksi adalah dilindungi hak cipta, baik itu berbentuk koleksi cetak (printed) maupun elektronik (digital). Sehingga agar aman dalam pelanggran hak cipta, perpustakaan harus menyiapkan beberapa perangkat atau peraturan tertulis yang isinya memuat kesepakatan dan lisensi diantara kedua belah pihak. Dengan pernyataan bahwa setiap koleksi/informasi yang sudah diterima perpustakaan itu adalah hak prerogrratif perpustakaan untuk mengalihmediakan koleksinya ke bentuk apapun tanpa adanya komplain/protes dari si penulis karya. Pernyataan tertulis itu bisa dijadikan peraturan maupun kebijakan perpustakaan untuk melindungi setiap koleksi yang dikelolanya. Beberapa kebijakan yang diberikan perpustakaan dalam mengelola sumber daya digital antara lain peraturan deposit, trade-secrecy, copy left, dan doktin fair use.


Referensi:

  • Basuki, Sulistiyo. 2008. Standardisasi Proses Digitalisasi Sumber-Sumber Informasi dan Peran Baru Para Profesional Informasi Dalam Era Perpustakaan Digital. Makalah untuk Pelatihan Digitalisasi Koleksi Perpustakaan: Akselerasi Perpustakaan
  • Evans, G. Edward. 2000. Developing Library and Information Center Collection: Fourth Edition. Colorado: Libraries Unlimited a Division of Greenwood Publishing Group. Inc.
  • Putu, Laxman. 2007. Perpustakaan Digital: Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: CV. Sagung Seto.
  • Giri P, EM. 2008. Undang-Undang HAKI: Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Visimedia.
  • F. Priyanto, I. (2017). Digitasi & Born-digital. Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 4, Yogyakarta.

Sabtu, 18 Maret 2017

Model Perpustakaan Digital

Berikut ini adalah beberapa model perpustakaan digital yang tengah berkembang hingga saat ini:

Model Rolands dan Bawden

   Berdasarkan model Rolands dan Bawden, model perpustakaan digital merupakan sebuah continuum (rentang berkelanjutan) dari perpustakaan biasa atau konvensional. Model Rolands dan Bawden ini menggambarkan perkembangan perpustakaan konvensional ke perpustakaan digital melalui beberapa tahapan, yaitu :
  • Perpustakaan konvensional, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
  • Perpustakaan elektronik, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, koleksi tercetak dan elektronik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
  • Perpustakaan hibrida, yang di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik dan internet, koleksi tercetak dan elektronik serta digital, ruangan baca, meja referensi dan referensi maya, ruangan maya (virtual). Perpustakaan hibrida ini merupakan peralihan antara perpustakaan konvensional atau tradisional ke perpustakaan digital.
  • Perpustakaan digital, di dalamnya terdiri dari dengan atau tanpa lokasi fisik, koleksi digital, ruang dan referensi maya.
  • Perpustakaan maya, di dalamnya terdiri dari tanpa lokasi fisik, koleksi seluruhnya digital, ruang dan referensi maya.
   Dengan pembagian tersebut, apabila kita merujuk pada konsep perpustakaan digital, maka konsep perpustakaan hibrida dari Rolands dan Bawden cocok dengan konsep perpustakaan digital, namun jika melihat kategori keempat (perpustakaan digital) maka Rowands dan Bawden menganut konsep perpustakaan digital menurut Arms. Walaupun Rolands dan Bawden menggambarkan model perpustakaan seperti di atas, namun sebenarnya keduanya tidak mau terjebak pada perdebatan tentang bentuk atau lokasi. Keduanya  lebih berkonsentrasi pada proses, yaitu rencana, implementasi dan evaluasi. 

  Ada dua hal penting dalam model Rolands dan Bawden yang disebutnya sebagai conceptual framework, yaitu dunia pemikiran (ide) dan dunia praktik. Di antara dua dunia ini dihubungkan oleh teknologi. Dunia ide memunculkan ranah system (menyangkut interaksi manusia-komputer, perangkat lunak dan sistem arsitektur), ranah informasional (menyangkut organisasi pengetahuan, simpan-temu-kembali pengetahuan, dan implikasi bagi proses transfer informasi) serta ranah social (menyangkut keterampilan dan keberaksaraan informasi, dampak pada organisasi dan kegiatannya, kebijakan, peraturan dan perundangan tentang informasi). Maksudnya adalah, keseluruhan kegiatan perpustakaan sebenarnya merupakan upaya menerapkan teknologi, khususnya teknologi informasi, di berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, buku juga sebuah teknologi informasi, tetapi menggunakan mesin cetak (kecuali jika namanya buku elektronik). Sehingga seandainya sekarang kita bicara tentang perpustakaan digital, maka persoalan yang kita hadapi tetap serupa dengan saat pada pendahulu kita bicara tentang perpustakaan berkoleksi daun lontar, perpustakaan kertas, atau perpustakaan video, yaitu bahwa perpustakaan adalah sebuah upaya menghimpun dan menerapkan ide manusia ke dalam praktik dengan menggunakan teknologi informasi.

   Kesimpulannya adalah ketiga ranah tersebut terjadi pada semua perpustakaan karena memang hampir sulit menemukan perpustakaan yang tidak menggunakan perangkat komputer. Rolands dan Bawden memang tidak membedakan secara jelas antara perpustakaan hibrida dengan perpustakaan digital. Berdasarkan uraian di atas maka berikut ini merupakan alasan dari Rolands dan Bawden mengapa mereka tidak ingin meninggalkan konsep kepustakawanan konvensional yang juga berperan dalam membangun konsep perpustakaan digital :
  • Antara dunia praktik dengan dunia pikiran tidak bisa dipisahkan, dan di antara kedua dunia ini ada teknologi yang menyertainya, sementara yang dimaksud perpustakaan hibrida menurut Rowlands dan Bawden adalah masih dipertahankannya gedung, lokasi fisik dan internet, koleksi tercetak dan elektronik dan digital, ruangan baca, meja referensi dan referensi maya serta ruang maya (virtual).
  • Ternyata Rowlands dan Bawden masih mempertahankan konsep kepustakawanan (tentang fungsi perpustakaan) yang menyangkut tiga pilar utama, yaitu ranah social, ranah informasional dan ranah system.
  • Teknologi menurut keduanya lebih dijadikan komponen pendukung dunia praktek, walaupun saat ini teknologi tidak bisa ditinggalkan perpustakaan.

Model DELOS

Model DELOS menggambarkan perpustakaan digital sebagai  kerangka dengan tiga pilar, yaitu:
  1. Digital library system(DLS) sebagai sebuah system perangkat lunak. Untuk membangun perpustakaan digital diperlukan sebuah perangkat lunak yang fungsional yang disebut dengan aplikasi.
  2. Digital library management system (DLMS). Untuk membuat sebuah aplikasi seperti DLS di atas, diperlukan sistem perangkat lunak induk yang dalam model DELOS ini disebut sebagai Digital Library Management System atau sistem manajemen perpustakaan digital. DLMS tergolong sebagai perangkat lunak system. Saat ini perangkat lunak yang ditawarkan baik secara gratis maupun semigratis antara lain DSpace, Greenstone, Fedora, Koha, dan sebagainya.
  3. Digital library(DL) sebagai sebuah organisasi, menurut DELOS organisasi ini dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak. Yang dimaksud organisasi yang virtual adalah organisasi yang tidak punya kontak fisik dengan masyarakat penggunanya dalam  bentuk jasa wawan-muka (interface) sehingga pengguna tidak bisa meraba atau melakukan kontak fisik dengan perpustakaan (remote libraries). Hal-hal penting yang berkaitan dengan model perpustakaan digital DELOS adalah:

    • DELOS lebih menekankan organisasi secara substansial yaitu sebagai sebuah sistem manajerial.
    • Model DELOS lebih menekankan koleksi digital dengan tujuan untuk membedakan perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital (tidak memasukkan koleksi yang tercetak.
    • Model DELOS lebih mengarahkan tujuan pembangunan digital yaitu untuk preservasi koleksi sehingga koleksi ini nantinya selalu fungsional.
    • Sekiranya masih ada koleksi yang non digital maka koleksi tersebut harus dikelola dengan berbantuan komputer untuk memastikan agar semua koleksi dapat berfungsi dengan baik untuk melayani keperluan masyarakat. Jadi model DELOS memandang penting konsep ketersediaan koleksi.

Model OAIS (Open Archival Information system)

   Model ini merupakan model pengarsipan (archival) dan menekankan pada fungsi pelestarian atau preservasi. Namun pengarsipan dan pelestarian di sini bukanlah hanya menyimpan, mengawetkan, atau mempertahankan bentuk, melainkan memastikan agar informasi selalu tersedia untuk dimanfaatkan selama mungkin. Model OAIS sesungguhnya hendak menegaskan bahwa fungsi sebuah perpustakaan digital adalah memastikan semua koleksi digital berada dalam status selalu tersedia.

   Menurut model OAIS inti dari perpustakaan digital terletak pada kemampuan teknologi dalam menjamin ketersediaan dan kebergunaan semua koleksi dalam rentang waktu yang lama, bahkan kalau perlu selama-lamanya selama listrik masih ada. Menurut model OAIS, sebagai sebuah organisasi, perpustakaan digital memiliki tiga bagian atau unsure yang saling berkaitan yaitu:
  • lingkungan luar atau eksternal tempat sebuah OAIS berkegiatan. Di lingkungan ini terdapat komponen produsen, konsumen, dan manajemen.
  • Lingkungan dalam atau internal yang berisi perangkat, komponen-komponen fungsional, dan mekanisme keja OAIS untuk menyelenggarakan kegiatan pelestarian.
  • Paket informasi dan objek yang dicerna (ingested), dikelola (managed), dan disebarkan (disseminated).
   Berdasarkan uraian tentang model perpustakaan digital di atas maka Apapun modelnya, dari ketiga model yang telah disebutkan sebenarnya sama, yaitu bahwa perpustakaan digital dibangun dalam rangka menciptakan, menghimpun, mengolah dan menyajikan dan melestarikan rekaman-rekaman informasi berbantuan teknologi  serta jaringan informasi dengan tujuan untuk kemudahan akses dan pendayagunaan bersama sumber informasi.


Referensi:

  • Arms, W.Y. (2001).  Digital Libraries, Cambridge, Massachusetts.
  • Putu Laxman. (2008).  Perpustakaan Digital dari A – Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
  • Putu Laxman. (2009). Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
  • Witten, Ian H., Bainbridge, David and  Nichols, David M. (2010). How to Build a Digital Library, 2nd ed., Amsterdam: Elsevier.